Yudhistira

Aku masih saja teringat dengan raut mukanya yang kaku, bahkan saat dia tersenyum. Lengkungan bibir yang tidak sempurna saat dia tersenyum dengan mata yang mengambang datar, membuat aku mengira-ngira bahwa dia tidak pernah belajar tersenyum. Dia, dengan raut muka yang sangat datar, selalu mencoba bercanda walau terkesan dipaksakan. Orang-orang tertawa, tapi beberapa meter di hadapannya aku melihatnya sebagai sosok yang lain. Semacam melihat sosok yang berusaha bermetamorfosis, berusaha bertransformasi menjadi seseorang yang baru yang menyenangkan menurut norma sosial. Orang lain menangkap bahwa dia adalah dia yang sekarang, tapi aku menafsirkan hal yang lain, mungkin aku sudah menyatu secara etnografis dengannya–sesuai yang pernah dia katakan di hadapan teman-temannya tempo hari.

Aku kemudian melihat layar handphone, melihat fotonya yang sengaja aku download dari sebuah jejaring sosial. Semacam penawar, saat rasa rindu mencekam. Jelas di sana, di foto itu dia mencoba lagi tersenyum sambil menjulurkan lidah. Aku selalu tersenyum saat memandang foto itu, teringat suatu hari aku mengejek karena pose yang sama saat berfoto. Dengan handphone kamera aku mengoloknya dan memaksanya untuk berpose dengan menjulurkan lidahnya. Kemudian, setelah kejadian itu, dia memiliki dua pose tetap, pertama dia menyilangkan tangan sambil tersenyum kaku, dan kedua dia akan membentuk huruf V dengan tangannya sambil menjulurkan lidah, dengan mata yang tetap datar.

“Tahukah, bahwa ada dua macam pola komunikasi. Pertama, komunikasi dengan jarak sosial dan kedua komunikasi dengan tingkatan sosial” Ujarnya membuka pembicaraan.

“Terus?” Aku terbiasa menyebut kata ‘terus’ untuk setiap pernyataan yang menggantung. Aku tidak pernah melihat wajahnya saat berbicara, kami terbiasa memandang daun-daun cajuput yang berjatuhan di depan tangga perpustakaan saat hari memandang langit sore selepas kuliah. 

“Tingkat sosial menunjukan posisi sosial atau jabatan, sedangkan jarak sosial menunjukan keakraban. Hmm Aku tidak suka SMS Prisya ke kamu yang tadi malam, dia harusnya sadar kalau kamu dan dia punya tingkat sosial yang jauh”

“Tidak masalah buat aku. Bagiku yang terpenting pesannya tersampaikan, gaya bahasa hanya embel-embel, sopan-santun hanya kendaraan”

“Mungkin akan berbeda, aku sudah tidak punya masalah jarak sosial denganmu. Kita sudah sangat dekat…Tapi dia tidak”

“Gapapa. Kita tidak bisa menafsirkan karakter orang lewat sms atau pertemuan singkat. Butuh waktu lama untuk mengerti seseorang. Biarkan saja Prisya seperti itu ” aku memandang wajahnya sebentar, kemudian menyelendangkan tas, beranjak pergi. SMS Prisya kemarin merupakan sebuah penolakan akan ajakan yang kami tawarkan, Prisya menolak dengan SMS yang menyinggung.

“Kamu terlalu baik..” Dia ikut mengangkat ranselnya, dan saat itu kami berjalan.

***

Dari hati yang paling dalam, aku patut berterimakasih padanya. Cara dia memarahiku yang masih terjaga sepanjang malam adalah cara yang manis. Karena setelah 20 tahun hidup di dunia, belum pernah ada manusia yang melarangku begadang. Biasanya aku akan bergegas tidur saat dia mengingatkanku melalui SMS, tapi tidak untuk malam ini. Ada sebuah arah hidup dan arah hati yang ingin ku ubah malam ini. Pilar manusia adalah hati dan logika, aku tidak ingin menjalani hidup dengan hati yang berserakan. 

Yudishtira. Aku masih memegang gantungan kunci Yudistira berwarna merah hati. Dua bulan kuniatkan untuk diberikan padanya, namun momen pertemuan kami selalu menolakku untuk memberikan replika itu. Entah aku yang tiba-tiba malu, atau dia yang sedang berbicara tentang suatu topik dan tidak ingin dipotong. Sejatinya gantungan kunci ini tidak hanya souvenir, tapi di dalamnya ada doa. Doa atas sikapnya yang ksatria. Dua bulan berlalu, dan sekarang ku teguhkan hati untuk tidak memberikan ini padanya. 

Aku memegang gantungan Yudhistira yang gagah itu, sengaja aku ukir dengan tanganku sendiri karena ingin menjadi sesuatu yang berharga untuknya. Aku ingin menjadikan ini sebagai kenang-kenangan yang sempurna untuknya. Tapi sepertinya batal, karena kekhawatiran yang dalam, takut gantungan kunci ini menjadi salah satu dari 7 gantungan kunci lain yang menggantung di ranselnya.

Aku kemudian terhempas dalam air mata yang masih menggantung dalam kelopak, tersadar tiga per delapan windu sudah aku mengenalnya dan tersadar bahwa setiap manusia pasti memiliki keinginan, mereka berlari mewujukannya. Beruntunglah jika yang ingin dikejar adalah hal yang nyata, ingin pergi ke Jepang, ingin punya mobil baru. Karena itu akan realistis untuk kau kejar. Tapi apa jadinya jika kau menginginan hati orang lain? dengan perasaan gundah kau terus mengharapnya. Belum lagi jika tuhan tidak mengizinkan, sedang hatimu terpaut jauh olehnya. Malah masuk babak baru untuk belajar tentang keikhlasan. Karena hati orang lain bukan sesuatu hal untuk diresolusikan. 

Sama seperti menginginkan hatinya. Setelah tiga perdelapan windu terlibat dalam hidupnya, setelah ribuan cerita yang dibagi, momen-momen manis yang dijalani. Kenyataannya, tidak ada sedikitpun hati yang dia bagi. Kami berbagi  dalam kekosongan. Dia mencintai adik tingkat kami, adik tingkat yang aku sayangi. 

Dalam replika Yudhistira ini aku ingin bercerita bahwa dia adalah puntadewa seseorang dengan derajat keluhuran setara pada dewa, seorang Yudistira yang pandai mengendalikan ego, seorang Gunatalikrama  yang pandai bertutur bahasa, dan seorang Samiaji yang menghormati orang lain bagai diri sendiri. 

Namun batal. Semua hal tentang Yudhistira yang menyusup pada dirinya ini lambat laun akan dia sadari. Tidak perlu diingatkan dengan sebuah ukiran. Dan semua kebersamaan kita, akan aku anggap sebuah kenangan, bahwa aku pernah masuk ke dalam sebuah laboratorium psikologi yang menakjubkan. Menyaksikan bagaimana seseorang yang sangat pendiam, tidak bisa melengkungkan bibir, kini menjadi sosok yang dikagumi banyak orang.

“Sarah, kamu belum tidur? FBmu aktif. Ini sudah hampir pagi, cepet tidur Sar, prioritaskan yang paling utama. Kesehatanmu itu yang paling utama” Sebuah SMS darinya masuk. Aku bergegas menyeka air mata yang membasahi ukiran Yudhistira. Ini sudah selesai.

 

****

Cerpen. Nurulaaisyah

-Mencoba kembali menulis